Elis Rosidah Mardiah
Wanita itu ibarat buku. Jika ia tersampul dengan jilbab, maka itu
adalah ikhtiar untuk menjaga akhlaknya. Terlebih jika jilbab itu
tidak hanya sekedar untuk menutupi tubuhnya, akan tapi juga menjilbabkan hati. Dan jika ia tak
bersampul, maka ia akan terlihat lebih kusam, ternoda oleh coretan, sobek, karena dia tidak bisa
menjaga dirinya, itu karena dia membiarkan auratnya terlihat oleh laki-laki bukan mahramnya.

Menjadi wanita adalah amanah.
Bukan amanah yang sementara. Tapi amanah sepanjang usia ini ada. Dan sudah seharusnya kita
menjaga amanah ini, dengan membentengi diri kita iman dan
ilmu. Senantiasa belajar dan berusaha untuk selalu
memperbaiki diri. Karena memang
menjadi wanita baik itu tidak mudah. Butuh iman dan ilmu
kehidupan yang seiring dengan
pengalaman. Lihatlah di luar sana, masih banyak wanita yang dengan bangganya mengobral kehormatan dan kecantikannya,
memperlihatkan auratnya kepada non mahram, bahkan ada diantara mereka yang sampai terenggut
kehormatannya dikarenakan tidak
bisa menjaga dirinya.

Astaghfirullah, susahnya menjadi
wanita.

Benar. Menjadi wanita adalah pilihan. Bukan aku yang memilihnya, tapi Kau yang
memilihkannya untukku. Aku tahu,
Allah penggenggam segala ilmu.
Sebelum Ia ciptakan aku, Ia pasti punya pertimbangan khusus,
hingga akhirnya saat kulahir kedunia, Ia menjadikan diriku
seorang wanita. Aku sadar, tidak main-main Allah mengamanahkan
ini kepadaku. Karena kutahu, wanita adalah makhluk yang luar
biasa. Yang dari rahimnya bisa terlahir manusia semulia Rasulullah atau manusia sehina Fir’aun. Dan seperti apa diri kita kelak sangat di pengaruhi oleh bagaimana cara
kita bersikap, dan menjaga izzah dan iffah kita.

Ukhti, bersyukurlah karena engkau di karunia wajah yang cantik dan tubuh yang sempurna. Dan sudah
seharusnya engkau menjaga amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Bukan dengan memamerkan aurat kepada laki-
laki bukan mahram, sehingga membuat mereka tergoda dan
memuja kecantikanmu. Tapi
jagalah amanah tersebut dengan
menjaga dirimu dari hal-hal yang Allah murkai, karena cantik yang sesungguhnya adalah ketika
engkau bisa menjaga dirimu dan kehormatanmu. Bukan dengan
berlomba-lomba mempercantik tubuh sehingga tidak
mengindahkan batasan-batasan
yang telah Allah berikan kepadamu.

Sungguh rasanya malu diri ini, ketika aku tidak bisa menjaga amanah yang telah Allah berikan kepadaku. Aku malu menjadi
wanita, kalau faktanya wanita itu
gampang diiming-iminggi harta dengan mengorbankan harga
dirinya. Aku malu menjadi wanita
kalau ternyata wanita itu sebagai sumber maksiat, memikat, hingga mengajak pada jalan sesat. Aku
malu menjadi wanita kalau ternyata dari pandangan dan
suara wanita yang tak terjaga sanggup memunculkan syahwat.
Aku malu menjadi wanita kalau ternyata tindak tandukku tidak
berkenan di hati sahabat-sahabatku . Aku malu menjadi
wanita kalau ternyata wanita tak sanggup jadi Ibu yang bijak bagi anaknya dan separuh hati
mendampingi perjuangan suaminya. Aku malu menjadi
wanita yang tidak sesuai dengan fitrahnya. Ya, Aku malu jika sekarang aku belum menjadi
sosok wanita yang seperti Allah harapkan. Aku malu, karena itu pertanda aku belum amanah
terhadap titipan Allah ini.
Selengkapnya……
Elis Rosidah Mardiah
PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949


MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957



KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.


MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943 

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943
Selengkapnya……